Perjalanan Suci
dengan Jawaban Damai Akan Pertanyaan Masa Lalu Yang Sulit Terucap
Judul Buku :
Rindu
Penulis :
Tere liye
Penerbit :
Republika Penerbit
Cetakan dan
Tahun Terbit : Cetakan I,
Oktober 2014
Tebal Buku dan
Jumlah Halaman :13.5x20.5 , ii+544
hal.
Editor :
Andriyati
ISBN :
978-602-8997-90-4
Harga Buku : Harga
online Rp.63.000, Harga toko buku Rp.69.000
Sebuah karya
yang menghentakkan jiwa untuk lebih memahami makna perjalanan hidup dan kehidupan.
Jawaban untuk berjuta pertanyaan mendalam dari relung hati yang tak kuasa
terungkap, membuat kita terus belajar, bersabar, berjuang dan berdamai dengan takdir,
dan mengajarkan “kunci kebahagiaan” yaitu teruslah berbuat baik. Kadang tidak
semua pertanyaan butuh jawaban, hanya butuh penerimaan. Itu saja.
RINDU, merupakan
novel fiksi karya Tere liye (adalah nama pena yang artinya untukmu) yang mempunyai
nama asli Darwis dan akrab disapa bang tere, mempunyai istri “Riski Amelia” dan
seorang putra “ Abdullah Pasai”. Merupakan seorang novelis yang telah
melahirkan sekitar 20 novel yang mengagumkan dan best seller seperti Rembulan
Tenggelam di Wajahmu, Sunset Bersama Rossie, Negeri Para Bedebah, Daun yang
Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Berjuta Rasanya dan masih banyak lagi. Karya
beliau yang sudah difilmkan seperti Hafalan Shalat Delisa, Bidadari-Bidadari
Surga, Moga Bunda Disayang Allah dan beberapa karya segera difilmkan. Bang tere
yang juga merupakan Dosen Fakultas Ekonomi UI dan masih bekerja disebuah kantor
sehingga beliau lebih suka disebut akuntan dibanding novelis.
Novel Rindu
menggambarkan sebuah perjalanan panjang yang mempertemukan lima pertanyaan
takdir kehidupan. Tentang kebencian, dendam, kehilangan, kemunafikan dan cinta.
Sungguh jawaban yang menggetarkan jiwa dan mendamaikan hati.
Hidup adalah
sebuah perjalanan. Ada tujuan, tak semua yang diinginkan dapat tercapai, tak
semua yang dicitakan dikabulkan, tak semua yang diusahakan dilancarkan. Kadang
kita harus menangis untuk lebih mengerti makna gelak tawa, terjatuh untuk mengerti
makna bahagia, kehilangan untuk lebih mengerti makna kebersamaan, dilukai agar
lebih mengerti makna menghargai. Tapi satu yang pasti, semua harus dilalui
dengan penuh usaha, doa, ikhlas dan penuh syukur. Karena kita percaya, percaya
bahwa semua telah diatur sempurna oleh Sang Maha Pengatur Kehidupan Allah SWT.
Menceritakan perjalanan
suci umat muslim ke Baitullah Mekkah pada masa lalu di penghujung tahun 1938
menggunakan kapal belanda Blitar Holland. Berkisah saat Indonesia masih dijajah
Belanda. Sebuah cerita yang mempertemukan banyak tokoh termasuk 5 tokoh utama
pemilik pertanyaan. Novel fiksi yang menggabungkan cinta, agama, teknologi, sejarah,
dan nasionalisme yang terkesan tidak menggurui tetapi mudah dipahami dan
diresapi. Sebagian besar cerita terjadi dikapal Blitar Holland, perjalan
panjang sekitar dengan rute perjalanan Makassar, Surabaya, Semarang, Batavia,
Lampung, Bengkulu, Padang, Banda Aceh, Kolombo dan Jeddah. Mempertemukan Ahmad Karaeng “Gurutta”, Keluarga Daeng
Andipati, Ambo Uleng, Bonda Upe dan Enhai, Mbah Kakung dan Mbah Putri, tokoh
Belanda seperti Kapten Phillips, Rueben, Chef Lars, Tentara Belanda dan Kelasi
Kapal.
Kapal Blitar
Holland adalah kapal buatan Belanda yang awalnya merupakan sebuah kapal
pengangkut rempah-rempah yang kemudian berubah menjadi kapal pengangkut jamaah
haji , mengingat semakin banyaknya umat Islam yang melakukan perjalanan suci
tersebut. Kisah dimulai saat kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Kota
Makassar. Sebuah cerita wisata hati ke tanah suci yang penuh keharuan, air
mata, dan cinta. Pertemuan semua tokoh di kapal dipenuhi berbagai cerita.
Perkenalanan, persahabatan, pendidikan atau sekolah yang dibuat di kapal untuk
penumpang anak-anak, suasana pelabuhan, masing-masing kota yang dijelaskan
dengan deskripsi waktu, tempat, penokohan ala tere liye membuat kita merasa
turut mengalami perjalanan kerinduan ini.
Masa lalu memang
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan seseorang. Sepahit apapun tetap saja
akan menjadi benang dari lembaran kehidupan. Tergantung kita, apakah larut atau
dengan penuh keikhlasan mencoba bangkit, berusaha lebih baik dan terus memperbaiki
diri. Tentu tidaklah mudah, tapi dengan menemukan orang yang tepat dan dapat
dipercaya untuk berbagi cerita, meminta nasehat, dan bersama dengan orang yang
membuat kita lebih baik dan dekat kepada Sang Maha Pencipta bukanlah suatu yang tidak mungkin. Tokoh yang
merupakan sentral cerita, seorang ulama termasyur di Makassar dan Idonesia,
seorang pria 70an bernama Ahmad Karaeng biasa disapa Gurutta (bahasa Makassar
yang artinya guru kami) yang selalu dihormati dan berperan menjadi penasehat
dalam setiap permasalahan di kapal, termasuk 5 pertanyaan yang menggelayuti
insan di kapal Blitar Holland.
Pertanyaan pertama,
Bonda Upe. Guru mengaji anak-anak selama di atas kapal. Siapa sangka pada masa
lalunya beliau adalah perempuan “kurang baik”. Rahasia masa lalu yang ingin
dilupakan justru terkuak dikala ia melakukan perjalanan suci. Bertempat di
sebuah kedai soto di Batavia, ketika seseorang memanggilnya dengan “Ling-Ling”.
Merasa tidak tenang dan terus dihantui rasa bersalah dan dosa akan masa
lalunya. Merasa apakah pantas seorang wanita sepertinya berkunjung ke tanah
suci, akankah Tuhan menerimanya. Salah satu nasehat Gurutta : “ Kita tidak
perlu membuktikan kepada siapapun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali
tidak perlu. Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang lain. Karena
walaupun orang lain menganggap kita demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri
yang tahu persis apakah kita memang baik “.
Pertanyaan, Daeng
Andipati. Sukses dalam usaha dan keluarga. Setidaknya itu gambaran sempurna
kehidupannya. Tapi dibalik itu tidak ada yang menyangka bahwa sejak kecil beliau
menyimpan kebencian, dendam masa lalu pada sosok yang seharusnya dicintai dan
dihormati, yaitu ayahnya sendiri. Disebabkan karena ayah yang sering melukai
ibunya baik fisik maupun ucapan, selalu menghalalkan segala cara agar usahanya
sukses tak peduli melakukan kejahatan sekalipun. Kebencian yang lekat terpatri
dan terasa mengalir di aliran darahnya. Terungkap ketika di kapal terjadi
insiden ketika mantan tukang pukul ayahnya mencoba melukainya. Salah satu
nasehat Gurutta : Kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri ketika kita
membenci orang lain, karena kita tidak mampu menghentikan bahkan mengubah orang tersebut terlebih orang
itu adalah ayah kandung sendiri “ dan “Saat kita memutuskan memaafkan
seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu memang jahat atau tidak. Kita
memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati
“.
Pertanyaan
ketiga, Mbah Kakung. Diceritakan bahwa Mbah Putri meninggal dalam perjalanan
menuju tanah suci dan disemayamkan di dasar laut. Sebuah kenyataan yang tidak
bisa diterimanya. Merasa sangat sedih, terpuruk dan tidak adil. Gurutta
menasehati bahwa keadilan terwujud dalam berbagai bentuk yang sering kita
sendiri tidak memahaminya. Cobalah lihat dari sisi lain, dari sisi yang pergi
meninggalkan. Dengan memahami mungkin bahkan itu yang terbaik baginya maka kita
akan lebih paham. Di akhir cerita setelah pulang dari haji Mbah Kakung juga
meninggal dan disemayamkan di dasar laut. Siapa menyangka ternyata jasad Mbah
Kakung dan Mbah Putri berdampingan di dasar lautan. Sungguh kuasa Illahi.
Pertanyaan
keempat, Ambo Uleng. Seorang pelaut tangguh yang rela menjadi kelasi dapur di
kapal Blitar Holland, sosok pemuda yang berusaha pergi sejauh mungkin untuk
meninggalkan kenyataan bahwa ia tak bisa bersama orang yang dicintainya.
Menduga dengan pergi jauh akan mengahapus kenangan itu. Tapi sebaliknya. Itulah
hidup, disaat melupakan justru kenangan akan terpatri mendalam. Satuhal yang
mesti diyakini, cinta sejati akan selalu menemukan jalan disaat kita tak merasa
tak mungkin. Tapi jika tidak, mudah saja maka itu bukanlah cinta sejati.
Percayakan kepada Sang Maha Pengatur skenario kehidupan. Intan akan tetap
berkilau meski berada di dasar terdalam lautan. Demikian kata yang
menggambarkan sosok Ambo Uleng. Dengan kerendahhatiannya ia menjadi pahlawan di
saat mesin kapal mati dan dengan keahlian yang hanya dimiliknya ia mampu
menyelamatkan seluruh penumpang dengan menggunakan layar.
Pertanyaan
kelima, Ahmad Karaeng. Tak diduga pertanyaan justru berasal dari sang guru yang
bijak, dihormati yang mampu menjawab semua pertanyaan. Tentang kemunafikan,
seorang yang menginginkan damai dan kemerdekaan utuk Indonesia, disaat para
ulama berperang melawan penjajah beliau justru tidak ingin berperang karena
tidak ingin menambah korban jiwa. Tak ingin melawan kejahatan dengan keburukan,
memilih melawan dengan tulisan dibanding peperangan. Tapi jawaban yang tak
kunjung beliau dapatkan justru muncul dari seorang pemuda Ambo Uleng. Disaat
kapal dibajak oleh perompak somalia dan Ambo Uleng memutuskan melawan perompak
karena disaat itu hanya Ambo dan beberapa tentara berhasil melarikan diri. Dan
dirasa rencana akan berhasil jika mendapat persetujuan dan dukungan Gurutta.
Butuh waktu akhirnya Gurutta memutuskan akan mendukung. Dengan izin Allah SWT
serangan mereka berhasil dan tidak ada yang terluka kecuali saat perompak
somalia mengambil alih kapal.
Suasana
menyenangkan, mengaharukan, menyedihkan, kehilangan, cinta sejati, dendam masa
lalu, berpilin dan bersatu di “Rindu” kapal Blitar Holland. Perjalanan yang
mengajarkan banyak hal. Tapi seperti ungkapan "Tak Ada Gading yang Tak Retak",
cerita pembuka penggambaran suasana yang terlalu panjang menuju inti cerita
mungkin dirasa agak menjemukan dan ditemukan beberapa kesalahan cetak pada halaman
380 (ssama seharusnya sama) dan halaman 495 (melupkan seharusnya melupakan). Dibalik
itu semua “RINDU” tetaplah merupakan karya Tere liye terbaik dari karya-karya
beliau sebelumnya. Semoga kita dapat mengambil makna dari setiap cerita.
ok !
BalasHapus