ABC

ABC

Jumat, 31 Oktober 2014

Resensi Novel Tere liye "RINDU"


Perjalanan Suci dengan Jawaban Damai Akan Pertanyaan Masa Lalu Yang Sulit Terucap

Judul Buku                                          : Rindu
Penulis                                                : Tere liye
Penerbit                                              : Republika Penerbit
Cetakan dan Tahun Terbit                   : Cetakan I, Oktober 2014
Tebal Buku dan Jumlah Halaman         :13.5x20.5 , ii+544 hal.
Editor                                                 : Andriyati
ISBN                                                 : 978-602-8997-90-4
Harga Buku                                        : Harga online Rp.63.000, Harga toko buku Rp.69.000

Sebuah karya yang menghentakkan jiwa untuk lebih memahami makna perjalanan hidup dan kehidupan. Jawaban untuk berjuta pertanyaan mendalam dari relung hati yang tak kuasa terungkap, membuat kita terus belajar, bersabar, berjuang dan berdamai dengan takdir, dan mengajarkan “kunci kebahagiaan” yaitu teruslah berbuat baik. Kadang tidak semua pertanyaan butuh jawaban, hanya butuh penerimaan. Itu saja.

RINDU, merupakan novel fiksi karya Tere liye (adalah nama pena yang artinya untukmu) yang mempunyai nama asli Darwis dan akrab disapa bang tere, mempunyai istri “Riski Amelia” dan seorang putra “ Abdullah Pasai”. Merupakan seorang novelis yang telah melahirkan sekitar 20 novel yang mengagumkan dan best seller seperti Rembulan Tenggelam di Wajahmu, Sunset Bersama Rossie, Negeri Para Bedebah, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Berjuta Rasanya dan masih banyak lagi. Karya beliau yang sudah difilmkan seperti Hafalan Shalat Delisa, Bidadari-Bidadari Surga, Moga Bunda Disayang Allah dan beberapa karya segera difilmkan. Bang tere yang juga merupakan Dosen Fakultas Ekonomi UI dan masih bekerja disebuah kantor sehingga beliau lebih suka disebut akuntan dibanding novelis. 

Novel Rindu menggambarkan sebuah perjalanan panjang yang mempertemukan lima pertanyaan takdir kehidupan. Tentang kebencian, dendam, kehilangan, kemunafikan dan cinta. Sungguh jawaban yang menggetarkan jiwa dan mendamaikan hati.

Hidup adalah sebuah perjalanan. Ada tujuan, tak semua yang diinginkan dapat tercapai, tak semua yang dicitakan dikabulkan, tak semua yang diusahakan dilancarkan. Kadang kita harus menangis untuk lebih mengerti makna gelak tawa, terjatuh untuk mengerti makna bahagia, kehilangan untuk lebih mengerti makna kebersamaan, dilukai agar lebih mengerti makna menghargai. Tapi satu yang pasti, semua harus dilalui dengan penuh usaha, doa, ikhlas dan penuh syukur. Karena kita percaya, percaya bahwa semua telah diatur sempurna oleh Sang Maha Pengatur Kehidupan Allah SWT.

Menceritakan perjalanan suci umat muslim ke Baitullah Mekkah pada masa lalu di penghujung tahun 1938 menggunakan kapal belanda Blitar Holland. Berkisah saat Indonesia masih dijajah Belanda. Sebuah cerita yang mempertemukan banyak tokoh termasuk 5 tokoh utama pemilik pertanyaan. Novel fiksi yang menggabungkan cinta, agama, teknologi, sejarah, dan nasionalisme yang terkesan tidak menggurui tetapi mudah dipahami dan diresapi. Sebagian besar cerita terjadi dikapal Blitar Holland, perjalan panjang sekitar dengan rute perjalanan Makassar, Surabaya, Semarang, Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang, Banda Aceh, Kolombo dan Jeddah. Mempertemukan  Ahmad Karaeng “Gurutta”, Keluarga Daeng Andipati, Ambo Uleng, Bonda Upe dan Enhai, Mbah Kakung dan Mbah Putri, tokoh Belanda seperti Kapten Phillips, Rueben, Chef Lars, Tentara Belanda dan Kelasi Kapal.

Kapal Blitar Holland adalah kapal buatan Belanda yang awalnya merupakan sebuah kapal pengangkut rempah-rempah yang kemudian berubah menjadi kapal pengangkut jamaah haji , mengingat semakin banyaknya umat Islam yang melakukan perjalanan suci tersebut. Kisah dimulai saat kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Kota Makassar. Sebuah cerita wisata hati ke tanah suci yang penuh keharuan, air mata, dan cinta. Pertemuan semua tokoh di kapal dipenuhi berbagai cerita. Perkenalanan, persahabatan, pendidikan atau sekolah yang dibuat di kapal untuk penumpang anak-anak, suasana pelabuhan, masing-masing kota yang dijelaskan dengan deskripsi waktu, tempat, penokohan ala tere liye membuat kita merasa turut mengalami perjalanan kerinduan ini.

Masa lalu memang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan seseorang. Sepahit apapun tetap saja akan menjadi benang dari lembaran kehidupan. Tergantung kita, apakah larut atau dengan penuh keikhlasan mencoba bangkit, berusaha lebih baik dan terus memperbaiki diri. Tentu tidaklah mudah, tapi dengan menemukan orang yang tepat dan dapat dipercaya untuk berbagi cerita, meminta nasehat, dan bersama dengan orang yang membuat kita lebih baik dan dekat kepada Sang Maha Pencipta  bukanlah suatu yang tidak mungkin. Tokoh yang merupakan sentral cerita, seorang ulama termasyur di Makassar dan Idonesia, seorang pria 70an bernama Ahmad Karaeng biasa disapa Gurutta (bahasa Makassar yang artinya guru kami) yang selalu dihormati dan berperan menjadi penasehat dalam setiap permasalahan di kapal, termasuk 5 pertanyaan yang menggelayuti insan di kapal Blitar Holland.

Pertanyaan pertama, Bonda Upe. Guru mengaji anak-anak selama di atas kapal. Siapa sangka pada masa lalunya beliau adalah perempuan “kurang baik”. Rahasia masa lalu yang ingin dilupakan justru terkuak dikala ia melakukan perjalanan suci. Bertempat di sebuah kedai soto di Batavia, ketika seseorang memanggilnya dengan “Ling-Ling”. Merasa tidak tenang dan terus dihantui rasa bersalah dan dosa akan masa lalunya. Merasa apakah pantas seorang wanita sepertinya berkunjung ke tanah suci, akankah Tuhan menerimanya. Salah satu nasehat Gurutta : “ Kita tidak perlu membuktikan kepada siapapun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu. Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang lain. Karena walaupun orang lain menganggap kita demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu persis apakah kita memang baik “.

Pertanyaan, Daeng Andipati. Sukses dalam usaha dan keluarga. Setidaknya itu gambaran sempurna kehidupannya. Tapi dibalik itu tidak ada yang menyangka bahwa sejak kecil beliau menyimpan kebencian, dendam masa lalu pada sosok yang seharusnya dicintai dan dihormati, yaitu ayahnya sendiri. Disebabkan karena ayah yang sering melukai ibunya baik fisik maupun ucapan, selalu menghalalkan segala cara agar usahanya sukses tak peduli melakukan kejahatan sekalipun. Kebencian yang lekat terpatri dan terasa mengalir di aliran darahnya. Terungkap ketika di kapal terjadi insiden ketika mantan tukang pukul ayahnya mencoba melukainya. Salah satu nasehat Gurutta : Kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri ketika kita membenci orang lain, karena kita tidak mampu menghentikan  bahkan mengubah orang tersebut terlebih orang itu adalah ayah kandung sendiri “ dan “Saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu memang jahat atau tidak. Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati “.

Pertanyaan ketiga, Mbah Kakung. Diceritakan bahwa Mbah Putri meninggal dalam perjalanan menuju tanah suci dan disemayamkan di dasar laut. Sebuah kenyataan yang tidak bisa diterimanya. Merasa sangat sedih, terpuruk dan tidak adil. Gurutta menasehati bahwa keadilan terwujud dalam berbagai bentuk yang sering kita sendiri tidak memahaminya. Cobalah lihat dari sisi lain, dari sisi yang pergi meninggalkan. Dengan memahami mungkin bahkan itu yang terbaik baginya maka kita akan lebih paham. Di akhir cerita setelah pulang dari haji Mbah Kakung juga meninggal dan disemayamkan di dasar laut. Siapa menyangka ternyata jasad Mbah Kakung dan Mbah Putri berdampingan di dasar lautan. Sungguh kuasa Illahi.

Pertanyaan keempat, Ambo Uleng. Seorang pelaut tangguh yang rela menjadi kelasi dapur di kapal Blitar Holland, sosok pemuda yang berusaha pergi sejauh mungkin untuk meninggalkan kenyataan bahwa ia tak bisa bersama orang yang dicintainya. Menduga dengan pergi jauh akan mengahapus kenangan itu. Tapi sebaliknya. Itulah hidup, disaat melupakan justru kenangan akan terpatri mendalam. Satuhal yang mesti diyakini, cinta sejati akan selalu menemukan jalan disaat kita tak merasa tak mungkin. Tapi jika tidak, mudah saja maka itu bukanlah cinta sejati. Percayakan kepada Sang Maha Pengatur skenario kehidupan. Intan akan tetap berkilau meski berada di dasar terdalam lautan. Demikian kata yang menggambarkan sosok Ambo Uleng. Dengan kerendahhatiannya ia menjadi pahlawan di saat mesin kapal mati dan dengan keahlian yang hanya dimiliknya ia mampu menyelamatkan seluruh penumpang dengan menggunakan layar.

Pertanyaan kelima, Ahmad Karaeng. Tak diduga pertanyaan justru berasal dari sang guru yang bijak, dihormati yang mampu menjawab semua pertanyaan. Tentang kemunafikan, seorang yang menginginkan damai dan kemerdekaan utuk Indonesia, disaat para ulama berperang melawan penjajah beliau justru tidak ingin berperang karena tidak ingin menambah korban jiwa. Tak ingin melawan kejahatan dengan keburukan, memilih melawan dengan tulisan dibanding peperangan. Tapi jawaban yang tak kunjung beliau dapatkan justru muncul dari seorang pemuda Ambo Uleng. Disaat kapal dibajak oleh perompak somalia dan Ambo Uleng memutuskan melawan perompak karena disaat itu hanya Ambo dan beberapa tentara berhasil melarikan diri. Dan dirasa rencana akan berhasil jika mendapat persetujuan dan dukungan Gurutta. Butuh waktu akhirnya Gurutta memutuskan akan mendukung. Dengan izin Allah SWT serangan mereka berhasil dan tidak ada yang terluka kecuali saat perompak somalia mengambil alih kapal.

Suasana menyenangkan, mengaharukan, menyedihkan, kehilangan, cinta sejati, dendam masa lalu, berpilin dan bersatu di “Rindu” kapal Blitar Holland. Perjalanan yang mengajarkan banyak hal. Tapi seperti ungkapan "Tak Ada Gading yang Tak Retak", cerita pembuka penggambaran suasana yang terlalu panjang menuju inti cerita mungkin dirasa agak menjemukan dan ditemukan beberapa kesalahan cetak pada halaman 380 (ssama seharusnya sama) dan halaman 495 (melupkan seharusnya melupakan). Dibalik itu semua “RINDU” tetaplah merupakan karya Tere liye terbaik dari karya-karya beliau sebelumnya. Semoga kita dapat mengambil makna dari setiap cerita.